Pulang
Siang hari pukul 14.00. Suara lantang
panggilan menaiki pesawat terdengar di langit-langit bandara dengan tujuan
Jakarta – Turki, aku segera beranjak dari kursi tunggu untuk mempersiapkan
barang bawaan mu.
“sudah tidak ada yang ketinggalan mas?”
Kamu menggeleng, lalu mendekapku dengan erat.
Pelukan perpisahan yang lebih erat dari biasanya. Apalagi berpisah dalam waktu
yang tidak ditentukan.
“Aku masuk dulu yah, engga lama kok, kalau
urusanku telah selesai, Insyaallah Aku akan pulang. kamu jaga diri dan bayi
kita yah.”
Katamu dengan senyum yang tulus lalu mencium
keningku, kamudian melepas genggam tanganku.
lambaian tangan darimu, pertanda kita
benar-benar berpisah. Air mata yang tak mampu aku tahan akhirnya tumpah tanpa
aku sadari.
***
Namaku Sania. Aku lahir
di distrik Bambu Lima, 60 kilometer
utara Kota Kembang. Itu bukan Kawasan yang maju dan canggih. Itu Kawasan sederhana
yang dipenuhi dengan pohon-pohon rimbun serta sungai yang masih sangat jernih.
Daerah
yang sangat cocok untuk membesarkan seorang anak sepertiku. Aku tumbuh menjadi
anak yang petualang, pantang meyerah, dan pastinya mandiri. Tidak sedikit
perempuan di luar sana yang iri padaku.
Saat
beranjak remaja, aku dan orangtuaku memutuskan untuk meninggalkan distrik Bambu
Lima lalu menetap di kota Kembang. Tujuan mereka baik. Agar aku bisa mendapat
Pendidikan yang lebih baik.
Alhasil
aku berhasil masuk Jurusan Kedokteran Universitas kenamaan Kota Kembang. Kampus
UPIL namanya. Kepanjangan dari Universitas Pandu Intan Laksana. Butuh waktu
tiga setengah tahun untuk menyelesaikan studiku. Waktu yang cukup untuk menjadi
lulusan terbaik kampus ini. Aku lulus dengan predikat summa Cumlaude.
Banyak hal terjadi pasca kelulusanku.
Orangtuaku yang semakin menua mengharapkanku segera mencari pasangan hidup.
Ayah berkata padaku, “Sania, Ayah sama ibu sudah tua, sudah sakit-sakitan, kami sudah tidak bisa jagain kamu
terus-terusan. Saran ayah, segeralah
menikah nak.”
Aku
mengangguk pelan.
“ayah
sudah pilihkan untuk kamu calon suami. Maafkan ayah karena sudah egois milihin
kamu calon suami tanpa sepengetahuan kamu, tapi ayah yakin dia orang yang tepat
untuk kamu.”
Aku
kembali mengangguk pelan, aku tidak bersedih tidak pula menangis. Sejak kecil
memang aku jarang menangis.
“Baiklah
nak. kalau
kamu bersedia, besok ayah akan memperkenalkan mu dengannya.”
***
Esoknya, siang hari pukul 11.00. seseorang
mengetuk pintu dari luar.
“assalamu alaikum” suara seorang pria dari halaman
rumah.
“waalaikum salam” segera aku menghampiri tamu
yang ada di depan rumah.
Saat tiba di pintu depan, yang ku jumpai
hanyalah seorang pemuda dengantampilan sederhana. Perawakannya yang tenang
namun hangat, mampu membuatku lupa untuk bernafas untuk sepersekian detik.
“siang mba, ini rumahnya pak Arif ?”. kata
pria itu dengan nada yang sopan.
“ Iya mas, masuk dulu mas, sebentar saya
panggilin ayah.” Kata ku dengan terbata-bata, entah kenapa saat itu detak
jantungku tidak karuan.
***
Setelah pertemuan pertamaku dengannya hari
itu, ayah lalu bertanya padaku. “Sania, menurut kamu bagaimana nak, Tentang
pria yang datang tempo hari?”
Aku diam, tidak menjawab sepatah-kata pun.
“Namanya Arya, jadi dia orangnya yang ayah
ceritakan ke kamu soal pria pilihan ayah. Bagaimana nak?. Kalau perasan kamu
tidak sesuai, katakan nak. Kamu boleh menolak. Ayah tidak ingin ada paksaan,
pilihannya ayah serahkan sama kamu nak.” Ayah mengelus kepalaku dengan penuh
kasih sayang.
“Ayah, kalau boleh jujur aku belum bisa
bilang suka dengan pria itu. Tapi sania tidak mengerti dengan perasaan sania
sendiri. Beri sania waktu, ayah.”
“Baiklah, ayah beri kamu waktu” kata ayah
dengan nada yang menenangkan hati anaknya.
***
Sebulan berlalu, aku siap memberikan jawaban
kepada ayah. Tentu ayah sudah menunggu terlalu lama. Begitu juga Mas Arya. Aku
merasa bersalah karena telah membuat mereka menunggu sampai selama itu.
Tanpa berlama-lama, aku menyetujui pilihan
bapak untuk menikah dengan mas Arya. Dan 3 Bulan lagi pernikahan kami akan
berlangsung. Aku sangat bahagia melihat raut wajah ayah dan ibu yang bahagia,
karena putrinya akan segera menikah.
Selagi mengurus persiapan pernikahan dengan
mas arya, kami juga sibuk membahas hal-hal yang penting setelah pernikahan
kita, seperti apakah aku boleh melanjutkan studiku dan menjadi dokter.
Syukurlah mas Arya merupakan seorang yang supportif, dia mengizinkan aku untuk
melanjutkan studiku.
***
Pernikahan kami berlangsung khidmat dan
meriah. sekarang aku sah menjadi istri dari seseorang. Setelah menikah, Aku dan
Mas Arya memilih untuk tinggal dirumah sendiri, memang berat untuk meninggalkan
ayah dan ibu sendirian. tapi harus kami lakukan, untuk membangun keluarga baru
kami yang mandiri.
sebulan pernikahan, Mas Arya mendapat tugas
kunjungan di luar negeri, bisnisnya kali ini memang sedang naik-naiknya. Aku
yang sedang melanjutkan koass, tidak bisa menemani mas Arya dalam
Perjalanannya.
“Minggu depan aku ada kerjaan ke Turki dek,
kamu bisa sendiri disini?” kata mas Arya dengan nada lembut.
“tidak apa-apa mas, aku bisa kok. Kalau lagi
sepi, aku bisa kok ke rumah Ayah dan ibu sendiri” kataku sambil menenangkan
perasaan mas arya.
Tentu
saja aku sangat menyayangkan keberangkatan mas Arya, Ramadhan kali ini telah
kupersiapkan untuk berdua dengan mas Arya, namun tidak seperti yang ku
rencanakan. Ditinggal sendiri setelah menikah tentunya menyedihkan ditambah
lagi menjalankan Ibadah pada bulan Ramadhan tanpa suami itu. Sedihnya dua kali
lipat.
***
Hari-hari pada bulan Ramadhan ku lewati tanpa
semangat, sejak kepergian mas Arya. Meskipun komunikasi kami selalu intens,
namun yang aku butuhkan adalah sosok Mas Arya. Yang bisa membuatku tenang
dengan adanya dirinya, namun sekarang yang kulihat hanya wajah dari layar
Smartphone. Sangat berbeda rasanya.
Saat berbuka pun aku tidak sebahagia biasanya.
Sembari menikmati makanan, telepon ku berdering. Pesan masuk dari Mas Arya.
“Assalamu alaikum,Selamat Berbuka Puasa
Istriku, gimana puasanya hari ini?. Insyaallah Lebaran nanti mas bisa pulang.”
Membaca isi pesan itu, aku sangat bahagia.
Aku bahkan tidak sadar aku kembali meneteskan air mata.
***
Pagi hari, aku bersiap menuju ke bandara kota
Kembang. Menjemput kepulanganmu yang dijadwalkan hari ini. “Aku tidak sabar
bertemu suamiku” kataku dalam hati.
Setibanya aku dibandara, langsung aku menuju
ke tempat kedatangan. Aku pasang senyum terbaik untuk suamiku nanti. Suara
lantang pemberitahuan bahwa pesawat Turkish Airlines dengan nomor penerbangan
TA-666 dengan tujuan Turki - Jakarta, mengalami lost contact. Aku segera
memastikan bahwa itu bukan pesawat yang kamu tumpangi. Namun yang kudapati
adalah itu memang pesawat kamu.
Tiba-tiba pesan dari Mas Arya masuk. Langung
aku baca isi pesan itu.
“Untuk Istriku, Sania. Relakanlah kepergianku
kali ini, akan kusampaikan pada tuhanku bahwa aku bersyukur dipertemukan dengan
kamu.”
Biografi
Penulis
Namaku Andi Tenri Sumpala, lahir di kota
watampone 23 oktober 2000. menulis adalah tempat paling jujur untuk aku. Aku bisa
menuangkan semuanya. Rasa sakit, rasa rindu, rasa kecewa, atau bahkan rasa
cinta. Aku ingat kata seorang penulis yang mengatakan kalau semua orang itu
akan hilang, kecuali mereka menulis. Maka dari itu aku menulis karena menulis
adalah bekerja untuk keabadian. Ada banyak yang ingin aku tuliskan dalam
biografiku kali ini, namun sepertinya terlalu lama dan alot untuk dibahas
sendiri. Jika penasaran dengan diriku, kalian boleh mengenalku lewat
tulisan-tulisanku.
Komentar
Posting Komentar